90 days of You

Mutiara Ramadhanty
3 min readOct 2, 2021

--

“You got chemistry, you only need one other thing: timing. But timing is a bitch” — Robin Scherbatsky, How I Met Your Mother

Belajar banyak dari satu bulan ke belakang, ternyata kuantitas ga ada apa-apanya kalau dibandingin sama kualitas. Satu kalau berharga, dibanding seribu yang biasa aja, arti nol di belakang angka satu di seribu beneran jadi nihil. Sama dengan waktu ya, kayanya?

Selama ini aku pikir, yang bentar ya gampang hilang, yang bentar ya ga mungkin lah lama-lama diingetnya, yang bentar ya bakal kalah lah sama yang lama? Kalau yang dua tahun lamanya aja bisa kuat dihadapin, ga mungkin lah yang sebulan-dua bulan ga bisa dihadapin?

Ternyata…. ringan-beratnya sesuatu, mudah-susahnya sebuah hal, senang-sedihnya perasaan, ga berbanding lurus dengan waktu, ya? Mungkin lebih tepatnya, ga bisa dibandingin, karna aku tau kalau ga bisa berbanding lurus, pasti ga bisa juga berbanding terbalik, kan?

Selalu bersyukur, dikasih kesempatan sama yang di Atas buat 90 hari ngerasain rasa tenang, rasa yakin, ga pake ragu-ragu, senang, dan semua indah lainnya. Walaupun di hari ke-91, tanpa aba-aba, semuanya diambil lagi. Detik pertama semua hal itu diambil, aku kira ya ga apa-apa? Toh selama ini, sebelum 90 hari itu, aku bisa aja tanpa hal-hal itu? Aku bisa aja tanpa yang dititipin buat ngasih hal-hal itu? Aku bisa aja tanpa dia? Haha pedeeee bgt! Dan sekarang, it’s been a month, and although i’m trying my best to work on it, it never gets better than day one…

Bertanya-tanya sih selalu ya, kenapa kali ini susah ya? Kenapa kali ini setiap pagi kok bawaannya hari ga bisa dilaluin tanpa harus nangis-nangis dulu? Kenapa tiap keshuffle lagu Everglow-nya Coldplay langsung bengong dan berlinang air mata? Apalagi kalo kita tiba di lirik “So how come things move on? How come cars don’t slow? When it feels like the end of my world, when I should, but I can’t, let you go?”

Sepaham itu kalau dengan (dan harus) menghargai keputusan dia juga sebenernya udah cukup untuk aku bisa legowo. Bener kan ya? Menghargai udah lebih dari cukup, tanpa harus paham, yang mana jauh lebih susah? Tapi, lagi lagi dan lagi ya susah untuk berhenti di tahap untuk menghargai itu tadi ya. Belum paham, belum mau lanjut, belum paham, belum mau berhenti. Udah mulai paham, merasa pemahamannya salah, mulai lagi dari awal. Sampe jadi bingung, ini sebenernya sedihnya karna apa sih? Nangisnya kenapa sih? Karna kehilangan atau karna ga paham?

Mungkin, waktunya yang salah ya? Or maybe I asked for too much? Terus berulang-ulang, muter-muter ga pernah ada jawaban yang meyakinkan. Ga tau juga kapan waktunya berhenti untuk nyari jawaban?

Sesusah apa itu untuk berhenti di menghargai, aku akan terus coba untuk sampe disitu aja dan ga noleh lagi ke kanan kiri untuk cari hal lain. Karena, kayanya cuma itu yang bisa aku kasih untuk bales semua hal-hal baik yang dia kasih ke aku?

Bareng aku atau bukan, dia yang nanti ada di saat kamu siap memulai hal yang kamu coba mulai di awal sama aku. Semoga keadaan ini ga berulang dua kali untuk kamu, aku, atau jadi yang pertama untuk orang lain itu nanti. Semoga kamu selalu jadi orang yang bijak dan yang paling tau tentang apa yang paling baik untuk kamu, pasti aku doain untuk apapun itu untuk jadi yang terbaik untuk kamu.

I’ve never been in your shoes, dan rasanya aku juga ga akan pernah paham rasanya jadi kamu segila apa juga aku nyoba, jadi apapun itu yang kamu pilih untuk kamu (dan untuk aku), aku percayakan semuanya ke kamu. Dan hey! Kamu inget ga pernah bilang ke aku kalo aku bakal percaya sama kamu suatu saat nanti, dan kayanya udah ya sekarang?

Aku doain semoga kamu dapet semua yang kamu mau (aku yakin pasti) dan di sepanjang waktu hidup kamu, yang ga ‘pas’ untuk bareng aku (you told me) ini, may Allah eases and guides you along your way…

Salam akhir dari Ted Mosby salah satu soulmatenya Robin di atas tadi, untuk kita semua!

--

--